Medan Berita – Terkait adanya aliran Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Jalan Banteng, Kelurahan Dwi Kora, Kecamatan Medan Helvetia, Medan pada tiga bulan yang lalu juga mendapat sorotan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ketua MUI Medan, Prof Dr M Hatta MA, Selasa (19/01/2016) sekira pukul 13.00 WIB.
Dalam keterangan yang diberikannya mengenai aktifitas Gafatar, bahwa organisasi itu sesat, ” Gafatar itu sesat,” ucapnya tegas kepada awak media.
Menurutnya, hal ini ditandai dengan tidak melaksanakan rukun Islam.
” Setiap yang tidak melaksanakan rukun Islam ya bukan Islam,” lanjutnya berkata. Jika dia tetap mengaku Islam, dia sesat, ucapnya lagi.
Islam sendiri memiliki 5 rukun Islam dan seyogianya tetap dilaksakan oleh umat, kata Hatta. Sambungnya lagi, kewajiban sholat 5 waktu yang ditiadakan dalam ajaran Gafatar menandakan dia bukan bagian dari Islam.
Dia pun berharap umat Islam harus bijaksana dalam menyikapi ajaran yang menyimpang apalagi sesat.
” Saya harap umat Islam harus bijaksana dalam ajaran yang mengatasnamakan Islam. Belajarlah dari sumber yang tepat,” terang Hatta.
Di lain sisi pemasukan doktrin ajaran yang sesat berasal dari dangkalnya pemahaman orang itu dalam agama,
” Doktrin ajaran sesat itu mudah diterima jika yang bersangkutan memahami Islam secara dangkal,” ungkapnya.
Kedok aktifitas sosialpun menjadi jalan mudah bagi organisasi Gafatar untuk merangkul calon anggotanya.
” Mereka mencari calon anggota dari aktifitas sosial, yang menaruh simpati kepada kegiatan mereka perlahan ditarik masuk,” bebernya.
Disinipun Hatta menghimbau umat Islam yang terlanjur mengikuti untuk kembali ke ajaran yang benar.
” Saya menghimbau kepada umat yang sudah mengikuti ajaran Gafatar untuk ‘halil khoir’ yaitu kembali ke jalan yang benar,” tandas Hatta.
Sementara itu keterangan dari salah seorang psikolog mengenai kecenderungan seseorang mengikuti dogma baru secara kejiwaan dikemukakan oleh Irna Minauli MPsi. Dalam penjelasan yang diberikannya seseorang yang mau mengikuti sebuah ajaran baru diakibatkan kurang figur tokoh panutan.
” Seseorang yang mengikuti ajaran lain dimulai dari kurangnya panutan dari seorang tokoh agama. Ketika ia merasakan tokoh yang dimaksud dan tidak bisa memberikan kepuasan spritualnya maka kekecewaan akan timbul,” ungkap Irna.
Lanjutnya mengatakan bahwa setelah kecewa siapapun yang dirasakan oleh orang yang kurang kepuasan spritual itu akan mencari hingga menemukannya. Disinilah para tokoh ajaran yang menyimpang ataupun sesat masuk, apalagi pengenalan organisasi yang ia pimpin melalui aksi sosial.
” Jika perkenalan sebuah organisasi melalui aksi sosial, orang yang kecewa tadi merasa kebenaran dari organisasi ini. Sifatnya komunal, ia merasa ada kesamaan sehingga ia melebur dalam organisasi itu. Begitu membaur, ajaran yang melenceng juga disusupkan,” terang Irna.
Setelah korban sudah disusupi ajaran organisasi yang baru, maka timbullah kolektif narsism, yaitu kelompoknya bangga terhadap dirinya sendiri. Merasa benar.
” Begitupun, yang menjadi korban disini adalah pengikutnya,” beber psikolog ini.
Menurutnya, karena, dibalik ini semua ada seorang tokoh atau figur yang waham delusi. Waham delusi adalah sebuah perasaan yang mempercayai dirinya sebagai penyambung lidah Tuhan.
” Ini adalah gangguan jiwa, seseorang yang mengaku sebagai ‘nabi palsu’ merasa mendapatkan wahyu untuk diteruskan kepada umat manusia. Apa dasarnya, jika merujuk ke dalam sejarah nabi mempunyai kelebihan atau mukjizat dalam membuktikan kenabiannya,” papar Irna lagi.
Walaupun begitu, para pengikut yang sudah terlanjur bisa kembali normal kejiwaannya. Salah satu untuk memperolehnya dengan hadirnya sebuah tokoh kuat disertai bukti paham yang selama ini si korban anut adalah salah.
” Bisa kembali normal, asal adanya tokoh kuat dan bukti untuk mengembalikannya normal,” tandas Irna.
(Laporan Dari Medan, MB-7)