Peran Perempuan Ada Dua Sisi Dalam Tindak Pidana Korupsi

example banner

Ket. Foto: Dosen Universitas Darma Agung Medan, Nanci Yosepin Simbolon, S.H. M.H. (MB)

Medan Berita – Sejak zaman dahulu perempuan selalu mendapatkan perlakuan berbeda dari pada laki-laki. Perempuan dianggap tidak lebih berharga dari pada laki-laki.

Bacaan Lainnya

Sampai saat sekarang ini masih ada kelompok-kelompok yang beranggapan bahwa seorang anak laki-laki lebih baik dari pada sepuluh anak perempuan, dikarenakan anak laki-laki dipandang dapat menjadi penerus keluarga sedangkan anak perempuan apabila telah menikah akan menjadi bagian dari keluarga suaminya dan anak yang dilahirkan perempuan tersebut hanya akan menjadi penerus keluarga suaminya.

Menurut Nanci Yosepin Simbolon, S.H., M.H., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Darma Agung Medan, Selasa (03/03/2020) pagi mengatakan, pandangan seperti ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan perempuan mendapatkan perlakuan yang diskriminatif di masyarakat.

Nanci yang menjabat sebagai Asisten Ahli di Kampus Ternama Kota Medan tersebut menyebut faktor penyebab perlakuan diskriminatif terhadap perempuan tidak hanya dikarenakan pandangan tersebut di atas. Faktor lain seperti budaya dan kisah-kisah keagamaan juga menjadi faktor penyumbang tindakan diskriminatif terhadap perempuan,” ungkapnya.

Sebagai contoh, lanjut Nanci yang sebelumnya Alumni Mahasiswi Fakultas Hukum tingkat strata 1 (S-1) UISU Medan ini berkata, pada zaman Yunani kuno perempuan digambarkan sebagai bentuk hukuman yang diberikan Dewa Zeus kepada para laki-laki. Zeus menciptakan perempuan pertama yang bernama Pandora, yang mana perempuan tersebut membuka sebuah kotak terlarang yang berisi berbagai macam kesengsaraan, penderitaaan, kejahatan dan perang yang membawa keruntuhan pada umat manusia. Menurut mitologi Yunani, Pandora dan kotaknya lah yang menjadi sumber kejahatan di dunia,” tuturnya.

Begitupun, masih dijelaskan Alumni program magister ilmu hukum (S-2) Universitas Sumatera Utara ini lagi, seperti yang dikisahkan ajarkan dalam agama-agama Abrahamik di mana Adam yang merupakan manusia pertama yang diciptakan, melakukan pelanggaran atas hal yang dilarang oleh Tuhan (memakan buah dari pohon terlarang) dikarenakan permintaan dari istrinya yang telah dihasut oleh Iblis. Akibat dari memakan buah terlarang Adam dan istrinya diusir dari surga dan menetap di bumi.

Kisah tersebut, kata Nanci lagi, menggambarkan perempuan sebagai manusia yang mudah terjerumus kedalam dosa/kejahatan, dan bahkan dapat mengajak manusia lain khususnya laki-laki untuk melakukan dosa/kejahatan bersamanya.

Pandangan tersebut berlanjut sampai dengan saat sekarang ini, khususnya dalam pandangan masyarakat Indonesia. Adanya anekdot yang beredar di masyarakat bahwa: “laki-laki apabila kaya maka dia akan nakal (menggoda perempuan dengan menggunakan harta yang dimilikinya), sedang perempuan harus nakal dulu baru bisa kaya (menggoda laki-laki dengan tubuhnya sehingga dia bisa mendapatkan materi dari laki-laki tersebut)”. Anekdot tersebut kemudian dikaitkan dengan beberapa kasus suap/gratifikasi seks yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana korupsi,” cetusnya.

Seperti, tambah Nanci, misal pada kasus suap wakil ketua Pengadilan Negeri Bandung Setyabudi Tejocahyono terkait peradilan kasus korupsi bantuan sosial Pemerintah Kota Bandung. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Johnson Panjaitan selaku pengacara dari Toto Hutagalung, Hakim Setyabudi Tejocahyono tidak hanya menerima uang, tetapi juga meminta disediakan perempuan untuk melayaninya (gratifikasi seks) kepada Toto Hutagalung.

“Dalam penjelasan Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi adalah hadiah yang meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Berdasarkan penjelasan tersebut, gratifikasi seks termasuk kedalam kategori “fasilitas lainnya” dan dapat dipidana sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” tegas Boru Simbolon.

Perempuan kerap dijadikan alat untuk melakukan penyuapan yang mempermudah terjadinya tindak pidana korupsi. Selain menjadi alat gratifikasi, sering juga dikaitkan bahwa gaya hidup mewah seorang perempuan dapat mengakibatkan terjadinya tindak pidana korupsi. Hal ini, menurutnya, dikarenakan seorang perempuan dapat memotivasi suaminya untuk melakukan tindak pidana korupsi untuk memenuhi keinginannya.

“Seperti misalnya kasus korupsi yang dilakukan oleh mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak. Najib Razak di dakwa melakukan korupsi pengelolaan dana pemerintahan Malaysia senilai 4,5 Miliyar Dolar Amerika yang apabila di konversi ke dalam Rupiah senilai dengan 63, 8 Triliun Rupiah. Dari total 4,5 Miliyar Dolar Amerika, sebanyak 681 Juta Dolar Amerika digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi (gaya hidup) Rosmah Mansour yang merupakan istri dari Najib Razak,” ucapnya lagi.

Dijelaskan Nanci yang masih menempuh program studi Doktor (S-3) ilmu hukum di Fakultas Hukum USU menambahkan, Perempuan berperan cukup besar dalam terjadinya suatu tindak pidana korupsi. peran itu dapat berupa pelaku tindak pidana korupsi, sebagai alat yang digunakan untuk melancarkan tindak pidana korupsi (sebagai pe-lobby maupun alat gratifikasi seks), ataupun sebagai motivator untuk melaksanakan tindak pidana korupsi.

Akan tetapi dari berbagai peran negatif yang dilakukan perempuan dalam tindak pidana korupsi, perempuan juga dapat berperan besar dalam mencegah, memberantas serta memerangi tindak pidana korupsi. Kedua sisi tersebut merupakan pilihan bagi perempuan, apakah mengambil peran dalam sisi yang buruk atau mengambil peran dalam sisi yang baik.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, masyarakat dapat berperan serta dalam membantu pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. oleh karena itu perempuan sebagai bagian dari masyarakat haruslah mengetahui perannya dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dalam pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, peran serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk: Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi, Mendapatkan pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi, Menyampaikan saran dan pendapat serta bertanggung jawab kepada peegak hukukm yang menangani perkara tindak pidana korupsi, Memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari dan Memperoleh perlindungan hukum.

Dalam mencegah terjadinya tindak pidana korupsi, perempuan (ibu) yang merupakan guru pertama bagi anak-anaknya dapat menanamkan budaya dan spirit anti korupsi kepada anak-anaknya sejak dini. Penanaman budaya dan spirit anti korupsi tersebut akan membentuk karakter anti korupsi yang akan menghasilkan generasi masa depan yang anti dengan tindak pidana korupsi.

Dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi, perempuan dapat menjadi pelapor yang membongkar suatu tindak pidana korupsi agar dapat menghentikan tindak pidana korupsi tersebut. Baik sebagai pelapor tindak pidana korupsi yang melibatkan dirinya secara langsung (Justice Collaborator) maupun pelapor tindak pidana korupsi yang tidak melibatkan dirinya (Whistleblower). Dengan menjadi pelapor, perempuan tersebut telah berkontribusi secara langsung kepada bangsa dan negara dalam memberantas tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara. Oleh karena itu para perempuan khususnya yang mengetahui keberadaan suatu tindak pidana korupsi, baik itu yang melibatkan dirinya (sebagai pelaku, maupun alat gratifikasi), ataupun yang melibatkan keluarga, teman, dan juga kerabatnya, haruslah menanamkan kebulatan tekad kepada dirinya untuk melaporkan serta menjadi saksi untuk menghentikan tindak pidana korupsi yang dia ketahui. Perempuan tidak perlu takut menjadi pelapor ataupun saksi karena setiap pelapor ataupun saksi akan mendapatkan perlindungan hukum atas keselamatan dirinya beserta keluarganya.

Dalam memerangi tindak pidana korupsi perempuan dapat berperan aktif dalam mengkampanyekan gerakan anti korupsi dan membangun komunitas anti korupsi di lingkungannya masing-masing. Para perempuan juga dapat melaksanakan sosialisasi budaya anti korupsi dan pentingnya pemberantasan korupsi. Apalagi sebagai pengguna pengguna media sosial terbesar, perempuan dapat memanfaatkan akun media sosialnya untuk memperkenalkan budaya anti korupsi kepada masyarakat luas.

Akan tetapi peran negatif taupun peran positif tersebut kembali lagi kepada individu masing-masing. Setiap peran yang diambil akan berpengaruh kepada masa depan dirinya maupun keluarganya. Oleh karena itu perempuan harus mengambil sikap secara bijaksana. Yang harus diingat korupsi akan membawa kesengsaraan kepada bangsa dan negara, apabila bangsa dan negara sengsara, kita yang merupakan bagian di dalamnya cepat atau lambat pasti juga akan merasakan kesengsaraan tersebut. Oleh karena itu tanamkanlah bahwa apabila tidak ada korupsi, maka bangsa dan negara akan makmur dan sejahtera. Bangunlah budaya anti korupsi agar kita beserta anak dan cucu kita dapat menikmati kemakmuran dan kesejahteraan di masa depan,” jelas Wanita berparas cantik asal Medan ini.

(Medan Berita)

Loading…

Comments

comments

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *